PERISTIWA PENARIK,MUKO-MUKO,PERTENGAHAN TAHUN 1960
Hasil
wawancara dengan mantan anggota Kompi A Brimob Rangers. Mei 2008Peristiwa
pertempuran antara dua peleton pasukan dari Kompi A Brimob Rangers pimpinan
Aiptu Ketut Wahadi dengan satu batalyon pemberontak PRRI/Permesta. Seperti kita
ketahui, tahun 1958 muncul pemberontakan PRRI/Permesta dengan pusat di
Pekanbaru dan Padang yang dimotori oleh beberapa perwira menengah Angkatan
Darat di Sumatera. Inti dari pemberontakan ini adalah ketidakpuasan dengan
kebijakan pemerintah pusat di Jakarta.
Pemberontakan
dalam skala besar sudah berhasil ditumpas dengan operasi Tegas dan Operasi 17
Agustus. Pada akhir tahun 1958, semua kota besar di Sumatera, baik Pekanbaru
dan Padang sudah kembali ke pangkuan RI, selain itu banyak dari pasukan
pemberontak yang menyerah. Namun demikian, sampai dengan tahun 1961 banyak sisa
pasukan pemberontak PRRI. Salah satunya batalyon yang dipimpin Letkol Nawawi
yang bergerilya di hutan pedalaman Sumatera. Batalyon ini dipersenjatai dengan
senjatasenjata bantuan dari Amerika Serikat pada awal 1958. Para prajurit
Infanteri Sumatera ini semuanya memegang senjata M1 Garrand, M1 Karabin (Jungle
Lipat), senjata otomotatis Thompson, senjata berat mortir 60 mm dan 80 mm.
2 peleton Kompi A Brimob Rangers
didaratkan di kawasan pantai Ipoh pada
bulan Mei 1960 dengan kapal pendarat milik Polairud dengan kode lambung 801.
Seperti standar pendaratan operasi ampibi, pendaratan diawali dengan tembakan
senapan mesin 12,7 dari kapal pendarat untuk memastikan tidak ada pemberontak
yang menguasai pantai. Setelah penembakan dilakukan, baru satu kompi pasukan
Brimob Rangers mendarat dengan aman. Kompi A Brimob Rangers ini dikirim ke
Sumatera untuk memback up Brimob Bengkulu yang beberapa minggu sebelumnya di
bantai oleh 1 batalyon Nawawi. Satu batalyon Brimob Bengkulu ini mengalami
jumlah korban yang sangat besar karena serangan mendadak (raid) dari
pemberontak PRRI. Markas Brimob Bengkulu ini sudah mengibarkan bendera putih
tanda menyerah dan di dalam markas hanya tinggal tersisa beberapa anggota yang
selamat dari serangan dadakan tersebut.
Pasca pendaratan 2 kompi Brimob
Rangers melakukan konsolidasi di pantai dan langsung mengejar gerombolan
pemberontak yang berlokasi di kecamatan Ipoh. Mereka kemudian bergabung dengan
satu batalyon TNI AD dari Pekanbaru dibawah komando Letkol Dani Effendi. Oleh
Danyon Letkol Dani Effendi, Brimob Rangers difungsikan sebagai peleton
pengintai dengan jarak 5 kilometer di depan Batalyon Infanteri.
Masuk perbatasan Sumatera Selatan,
peleton 1 bertemu dengan kompi terakhir Batalyon Ahmad Lubis, dan terjadi
kontak senjata pertama. Anehnya, posisi peleton 1 justru mengejar satu kompi
pemberontak. Pada saat hari menjelang malam, ada teriakan dari pasukan
pemberontak “Istirahat makan….!!!”. Sangat aneh, pada saat kontak senjata seru,
musuh menyerukan untuk istirahat dulu. Permintaan ini dituruti oleh Danton 1
Brimob Rangers karena kedua pasukan dihalangi sungai sehingga kesulitan untuk
menyeberang, selain itu pasukan butuh istirahat setelah hampir beberapa hari
bergerak sambil terus melakukan kontak senjata.
Pada akhirnya, peleton 1 sampai di
daerah Penarik, Muko-Muko (saat ini menjadi daerah transmigran). Pada jam
17.00, Agen Polisi Ristoyo mendengar kokok ayam jantan ditengah hutan. Hal ini
aneh karena biasanya yang terdengar adalah ayam hutan. Setelah melapor pada danton,
dua prajurit Rangers dari peleton 1 merayap menuju arah suara tersebut,
ternyata Kompi staf batalyon dan beberapa kompi lain dari pemberontak sedang
beristirahat. Musuh yang beristirahat diperkirakan berjumlah 300 orang, mereka
sedang menunggu giliran menyeberang sungai.
Peleton 1 segera mengambil posisi
menyerang. Pada saat itu (tahun 1960) Brimob Rangers menggunakan senjata M1
karabin (jungle riffle), sub-machine gun Carl Gustav dan bren MK3. Persenjataan
dan posisi pasukan dipersiapkan oleh Danton sebaik mungkin. Kemudian, danton
memberikan komando,tembak….!!!maka desing peluru dari senapan anggota peleton 1
berhamburan. Pada tembakan magasin pertama, mereka masih membidik dengan baik
sesuai dengan teori. Namun pada magasin kedua dan selanjutnya penembakan reaksi
lebih banyak dilakukan, karena pertempuran terjadi pada jarak dekat, selain itu
hari sudah malam sehingga posisi musuh hanya bisa diketahui dari bunyi tembakan
balasan mereka.
Pada awal posisi pertempuran, jarak
antara pasukan musuh dengan peleton 1 Brimob Rangers sekitar 300 meter, namun
yang terjadi kemudian adalah pertempuran jarak dekat. Jarak antara pasukan
Brimob Rangers dan musuh hanya sekitar 5-6 meter. Pertempuran yang terjadi
tanpa ada garis pertahanan. Balasan dari musuh dengan berbagai senjata ringan
sangat hebat, namun tampaknya mental bertempur mereka sudah jatuh karena banyak
perwira yang tewas. Akhirnya setelah 1,5 jam, pertempuran usai dan musuh
mundur. Peleton 1 tidak mengejar karena anggota pasukan kelelahan.
Setelah mengatur giliran jaga, anggota peleton 1 tidur di lokasi yang
sebelumnya menjadi medan pertempuran.
Pagi harinya, anggota peleton 1
menghitung jumlah korban dan senjata yang ditinggalkan. Ada sekitar 60 mayat
pasukan musuh dan ada sekitar 10 perwira yang tewas. Senjata yang ditinggalkan
adalah puluhan M1 Garrand (pada awal 60-an senjata ini dianggap sangat
canggih), mortir dan bazooka. Para anggota peleton 1 Brimob Rangers lega,
karena musuh tidak sempat menggunakan senjata-senjata tersebut. Jika senjata
itu digunakan ceritanya bisa lain. Agen Polisi Kartimin, terkaget-kaget karena
tempat yang ditidurinya semalam dekat dengan mayat pemberontak. Dalam
pertempuran ini tidak ada satu pun prajurit Brimob Rangers yang menjadi korban.
MENYUSUP KE BELAKANG GARIS PERTAHANAN
MUSUH DALAM OPERASI MANDALA/TRIKORA DARI PEMBURU MENJADI YANG DIBURU
Operasi
Mandala yang dipimpin oleh Mayjend Soeharto adalah sebuah operasi militer
sebagai jalan terakhir menyelesaikan masalah Irian yang ditunda oleh Belanda
dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Dalam operasi gabungan ini, semua
unsur dari Angkatan Bersenjata dikerahkan. Angkatan Darat yang dimotori oleh
RPKAD, Banteng Raiders dan beberapa unsur Divisi Siliwangi beserta Pasukan
Gerak Tjepat (sekarang Pasukan Khas) TNI AU disusupkan dengan penerjunan ke
beberapa wilayah di Irian Jaya. Pasukan Marinir disiapkan di Ambon untuk
melakukan pendaratan ampibi, jika pertempuran frontal terjadi.
Pasukan Brimob dari beberapa Polda
dan Resimen Pelopor menjadi bagian dari RTP 1 (Resimen Tempur) 1 yang akan
disusupkan ke daerah Fak-Fak, Papua. Anggota Resimen Pelopor yang menjadi inti
dari RTP 1 terdiri dari 60 orang, yang sebagian besar berasal darii Kompi A.
Mereka sudah menggunakan senjata AR 15 yang dibagikan pada tahun 1961, pada
saat operasi Gerakan Operasi Militer (GOM) IV di Aceh tahun 1961.
Pasukan berangkat dari Tanjung Priok
Jakarta pada bulan Februari 1962. Mereka berangkat menuju Ambon yang menjadi
salah satu pusat komando operasi Mandala.
Setelah
sampai di Ambon, pasukan dibagi lagi menjadi detasemen-detasemen kecil. Pasukan
Brimob dari beberapa Polda dipecah untuk disusupkan ke beberapa wilayah dan
sebagian menjadi petugas radio dan transportasi. Petugas transportasi yang
dimaksud adalah menjadi pengendali perahu motot kecil yang digunakan untuk
menyusup ke wilayah lawan. Pasukan dari Resimen Pelopor tidak dipecah karena
mereka memiliki misi khusus yaitu melakukan serangan demolisi (penghancuran)
instalansi milik Belanda.
Sesampai di Ambon, 60 orang anggota
Menpor dipindahkan ke kapal nelayan untuk berangkat ke Pulau Gorom di kawasan
Kepulauan Kei. Maluku. Pulau Gorom adalah pulau tidak berpenghuni yang hanya
berisi pohon pala. Mereka menunggu di pulau itu menunggu perintah infiltrasi.
Pada bulan April 1962, perintah untuk mendarat di Fak-Fak datang, dan segera
dipersiapkan perahu kecil untuk melakukan pendaratan. Misi pendaratan ini bukan
pendaratan ampibi, melainkan infiltrasi sehingga perahu pun disamarkan dengan
perahu nelayan.
Jarak antara Pulau Gorom dengan
daratan Fak-Fak hanya 4 jam pelayaran, sehingga tidak dibutuhkan waktu lama
untuk sampai di daratan Fak-Fak. 60 pasukan Menpor mendarat di Fak-Fak pada
pukul 03.00 pagi. Pasukan ini mendapatkan “sambutan hangat” dari Angkatan Laut
Kerajaan Belanda, berupa tembakan meriam dari arah lautan. Rupanya penyusupan
tersebut diketahui oleh AL Belanda. Tembakan kanon dari kapal AL Belanda
mengenai garis pantai sehingga pasukan kocar-kacir.
Mereka juga tidak mampu membalas
karena hanya membawa senjata ringan AR 15 dan granat tangan. Pertempuran yang
tidak seimbang itu hanya berlangsung beberapa menit, namun segera diketahui
akibatnya. 20 anggota Menpor salah arah dan langsung menuju markas musuh,
mereka akhirnya ditawan. 40 sisanya terpencar tidak karuan.
Pasukan Menpor yang terpecah itu kemudian
kehilangan kontak karena semua peralatan komunikasi rusak akibat pemboman.
Masing-masing kelompok terpecah menjadi 4 sampai 8 orang dan berasal dari regu
yang berbeda-beda. Mereka kehilangan kontak dengan pasukan induk, tidak
mempunyai dukungan logistic dan berada di daerah lawan. Hampir semua anggota
Menpor yang berada dalam situasi itu, ketika diwawancarai yakin bahwa mereka
pasti mati. Perintah dari komandan operasi pasukan Menpor tidak boleh menembak
kecuali dalam kondisi tidak bisa menghindari musuh.
Pasukan yang tercerai berai itu
masih “dihadiahi” Belanda dengan pemboman dari laut dan tembakan senapan mesin
dari pesawat tempur/ Ajun Brigadir Wagiyo mengingat saat itu, sebagai jam tanda
bangun pagi yaitu suara meriam dan mereka harus segera mencari perlindungan.
Pesawat tempur yang terbang rendah (waktu itu Belanda masih menggunakan pesawat
baling-baling) adalah gangguan lain yang memaksa pasukan Menpor bersembunyi
dengan baik.
Ajun Brigadir Kartimin mengingat,
pada saat itu sering keliru mengira pesawat Belanda sebagai pesawat dari TNI AU
yang menerjunkan logistic. Ia menunggu makanan yang datang adalah peluru
senapan mesin dan kadang-kadang roket udara ke darat.
Logistik dari TNI AU sebenarnya sering datang, namun lokasi penerjunan logistic
lebih dekat ke wilayah musuh daripada di hutan.
Pasukan Menpor yang ditawan Belanda
mempunyai “kesibukan” sendiri, setiap pagi mereka harus melakukan senam militer
dan kadang-kadang senam tersebut dilakukan semakin mendekati garis pantai.
Mereka harus bersenam sambil melakukan gaya injak-injak air.
Beberapa anggota Menpor yang
terpencar sempat kepergok oleh patroli AD
Belanda dan terjadi kontak senjata. Pasukan Menpor tersebut bisa menewaskan 11
anggota pasukan Infanteri Belanda dan seorang perwira infanteri berpangkat
Letnan Dua.
Setelah melakukan kontak mereka
segera bersembunyi untuk menghindari kejaran pasukan yang lebih besar. Pasukan
Menpor akhirnya bisa melakukan konsolidasi setelah gencatan senjata disepakati
pada Bulan Mei 1962. Pasukan akhirnya dikonsolidasikan dan ditarik ke kapal
perang milik TNI AL. Sebagian besar anggota Menpor yang belum sempat kontak
senjata dengan Belanda merasa kecewa karena amunisi yang mereka bawa belum
sempat dipergunakan, padahal mereka sudah merasakan hantaman meriam dan
roket Belanda.
Mereka juga beranggapan sangat tidak
enak menjadi buruan musuh, karena pada operasi militer sebelumnya mereka selalu
memburu musuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar